Sabtu, 23 Juli 2016

Taman Hutan Raya Juanda, Bandung


Dari Cikarang hari ini kami start jam 7 pagi, hampir setengah delapan bahkan. Udah kesiangan kalo ke Bandung. Macetnya itu loh. Di tol yang padat dan jalan rusak, otomatis mobil akan melambat. Dilanjut dengan antrian panjang di pintu tol Pasteur.

Dan benar, kami tiba di Hutan Raya Juanda jam 10.30 an. Makan siang masih kepagian, kami putuskan masuk sajalah dulu. Area parkir sempit, jadi adalah bijaksana kalau tiba di sini lebih pagi. Tidak habis waktu antri parkir.


Setelah setor tiket masuk, kami memasuki area Tahura dan disambut dengan pemandangan cafe di antara pohon-pohon pinus. Cantik memang.  Tapi penuh sekali cafenya. 


Banyak papan petunjuk di dalam. Tinggal pilih mau main kemana kita. Banyak warung-warung kecil di dalam. Seperti biasa, mie rebus dengan kopi atau teh. Ditambah gorengan dan jagung bakar. Nikmat juga, menunjang suasana yang cukup bersahabat.

 




Pemberhentian pertama kami adalah Goa Jepang, kami foto-foto di luar saja, dan tidak memasuki gua, karena sedikit kuatir dengan bapak-bapak yang menyewakan senter, karena ada "issue miring" tentang persewaan ini, saya baca di suatu blog.



Setelah puas foto sana sini, kami berjalan lagi, dan berhenti di satu warung, asal aja sih, tidak pilih-pilih, karena warung juga berjejer. Kami berbincang-bincang dengan sang bapak, termasuk membahas Tebing Keraton. Ujung-ujungnya si bapak pedagang jagung bakar menawarkan jasanya mengantar kami ke Tebing Keraton, karena menurut beliau Tebing Keraton sudah dekat. Biaya yang ditawarkan tujuh puluh lima ribu per orang. Gila... Tapi cuma bisa teriak dalam hati. Karena menurut beliau meskipun bisa bermobil ke sana, area parkir sempit, kuatir kebagian tempat parkir, dan itu pun masih harus naik ojek lagi ke tebingnya. Jalan kaki pun bisa, kata beliau.

  
Tapi kami putuskan tidak memakai ojek dari Tahura ke Tebing Keraton dan melanjutkan jalan kaki ke Goa Belanda. Dekat juga.

 Tersedia jasa ojek motor di dalam, harga sudah standar, tidak bisa ditawar. Dari pangkalan ojek dekat Goa Jepang ke pintu masuk dipatok dua puluh lima ribu, saya dengar perbincangan calon customer dengan si abang ojek. Pada akhirnya, saya tahu bahwa harga itu luar biasa, karena sepulang dari Goa Belanda menuju parkiran, tidaklah jauh

 

Bukannya tidak mendukung perekonomian warga setempat, saya pikir pengelola perlu membina mereja supaya lebih bijaksana dalam menentukan biaya ojek. Bisa rugi sendiri jika mereka memilih bertahan seperti ini, pasang biaya tinggi, mumpung pengunjung tidak paham situasi. Apalagi pada dasarnya ke Tahura selain berfoto juga untuk olahraga. Jadi jalan kaki akan selalu menjadi pilihan terbaik.


Bagi yang suka olahraga, jalan kaki di sini sangat menyenangkan. Buat yang suka foto, menurut saya spot foto yang bagus adalah di area hutan pinus, dan di depan goa-goa, tentunya ditunjang dengan kamera bagus, pasti lebih oke hasilnya. Hanya saja perlu sedikit menyiasati berfoto di depan gua tanpa terlihat kerumunan abang ojek dan penyewaan senter.

Di Goa Belanda, kami masuk ke dalam gua untuk melihat bekas penjara ini. Bermodalkan senter yang kami sewa di depan gua, kami memasuki gua yang gelap dan lembab. Kondisinya masih bagus, terawat. 
  

Menurut saya, akan istimewa jika jalan-jalannya dipercantik dengan susunan batu alam, tidak perlu keramik atau aspal atau beton, meskipun memang sebagian kecil sudah beraspal. Yang penting nyaman buat jalan kaki, tidak becek saat hujan dan tentu saja membuat Tahura semakin terlihat cantik. Sehingga pengunjung tidak terkonsentrasi di depan saja, yaitu area hutan pinus.
  
 

 

Tebing Keraton, Bandung


Setelah Goa Belanda, masih berjalan kaki menuju parkiran. Dengan mobil kami menuju Tebing Keraton, tanpa eksplore bagian lain Tahura, yang masih luas, karena hari sudah semakin siang dan kuatir hujan segera turun.

Tebing Keraton terletak "di atas" Tahura. Memang benar kata bapak penjual jagung bakar, area parkir sempit. Boleh dibilang itu bukan area parkir, hanya berupa jalan yang sedikit lebar, jadi bisa dimanfaatkan untuk parkir.

Di area parkir sudah menunggu abang-abang ojek yang siap mengantar ke Tebing Keraton. Tarif sudah tertulus jelas dan besar di pangkalan ojek, 50.000 rupiah per orang. Yasudlah...


Selama perjalanan, duh... deg-deg-an juga naik motornya, jalan menanjak hanya sebagian kecil beraspal, sisanya batu-batu dan tanah. Ditambah lagi setelah beberapa hari diguyur hujan, jalanan menjadi licin. Ngeri... Kadang di kiri atau di kanan adalah tepi tebing. Ngeri-lah kalau yang tidak biasa off-road begini. Saya lihat beberapa orang anak muda jalan kaki, entah dari Tahura atau dari area parkir, tidak jelas. Memang si bapak jagung bakar sempat mengatakan bahwa kita bisa jalan kaki dari Tahura ke Tebing Keraton. Tapi setelah sampai di lokasi Tebing Keraton, saya pikir jalan kaki hanya akan membuang waktu kita, karena lumayan jauh juga.


 
Beruntung pengunjung tidak terlalu padat hari ini. Jadi bisalah berfoto tanpa "iklan lewat". Kalau pun harus antri di spot terbagus, kita harus antri, masih okelah, tidak terlalu lama. Ada yang bilang pengunjung lebih suka datang dini hari, menjemput matahari terbit. Konon kabarnya view-nya luar biasa bagus. Tapi siang ini pun sudah bagus juga kok...




Sebetulnya area buat berfoto tidak luas dan spot "utamanya" hanya di bagian ujung tebing. Sangat disayangkan, meskipun sudah dipancang pagar, tentu saja demi keselamatan pengunjung, masih saja ada yang menerobos pagar, demi mendapatkan foto yang indah. Buat apa foto bagus, kalau jadi celaka ??




Sayang sekali, belum puas foto, hujan sudah turun, kami lari dari dalam sampai pintu keluar, napas hampir putus... hahahaha...!





Terlihat sudah ada usaha pemda setempat untuk merawat dan mempercantik area wisata ini, namun belum seluruhnya tersentuh, hanya terlihat jelas di bagian depan setelah pintu masuk. Semoga saja di masa mendatang tempat ini menjadi semakin indah.